Denyut Nadi Kehidupan di Kampung Laweyan Solo

Foto : Para perajin batik di Batik Putra Laweyan (Wahyu/detikTravel)Liburan ke Solo, kurang lengkap kalau belum ke Kampung Laweyan. Di sini, banyak batik cantik dilahirkan. Batik sudah seperti denyut nadi kehidupan Laweyan.

Kampung Batik Laweyan menempati lahan seluas kurang lebih 24 hektar yang terdiri dari 3 blok. Di sepanjang jalan kampung ini kita bisa melihat banyak perajin batik berderet dan bersebelahan satu sama lain. Ada kurang lebih 100 toko yang masih bertahan di era sekarang.

Masing-masing perajin mengusung brandnya sendiri. Satu yang cukup besar dan terkenal yaitu Batik Putra Laweyan. Di sini, traveler bisa berbelanja batik, sekaligus melihat proses pengerjaannya di bagian belakang toko.

Karena penasaran, detikTravel yang berkunjung ke Laweyan beberapa pekan lalu pun menyempatkan untuk mampir ke dalam. Suasananya cukup nyaman, seperti sedang di rumah kerabat sendiri.

“Silakan mas, kalau mau melihat proses pengerjaan batik, ada di belakang,” ujar salah seorang pekerja mempersilakan ramah

Rupanya terletak tepat di bagian belakang toko, ada ruang kerja yang dikhususkan untuk para perajin batik, yang rata-rata sudah ibu-ibu. Bahkan ada pula yang sudah memasuki usia senja, namun mereka masih bertahan karena kecintaannya kepada batik, terutama batik Solo.

“Sudah membatik dari sejak masih gadis mas, sampai sekarang. Sekarang yang membatik tinggal yang tua-tua, yang muda-muda mana mau. Takut panas, lama, nggak mau mereka,” tutur salah seorang perajin.

Mendengar penuturan ibu perajin batik tersebut, saya sedikit terhenyak. Rupanya inilah permasalahan yang banyak dihadapi oleh para pengrajin batik. Tidak di Laweyan, maupun di tempat lainnya. Banyak generasi muda yang tidak mau meneruskan lagi usaha pembuatan batik.

Menurut mereka, membuat batik adalah pekerjaan ‘orang-orang tua’. Jarang saya menemukan perajin batik yang usianya masih relatif muda. Padahal seharusnya, yang ‘muda-muda’ ini yang banyak berperan karena tenaga dan rasa ingin tahunya lebih besar.

Padahal bila mau belajar, membuat batik itu tidaklah terlalu susah. Yang terpenting adalah punya tekad, mau belajar, telaten, serta teliti. Bisa karena biasa, itulah kuncinya.

Pantas bila geliat perajin batik di Laweyan mulai surut, setelah pernah mencapai puncak kejayaannya di era tahun 1970-an. Beberapa perajin memindahkan tempat pembuatan batiknya di luar Laweyan, untuk menyiasati masalah tersebut.

Tetapi masih banyak juga perajin yang bertahan di Laweyan, guna meneruskan tradisi yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Pajang di era abad ke-15. Meski penjualan batik tidak sebagus zaman dulu.

Satu kain batik tulis, rata-rata dikerjakan selama kurang lebih 2 minggu. Bahkan bisa ada yang memakan waktu berbulan-bulan, tergantung dari seberapa rumit motif batik yang dikerjakan.

Karena proses pengerjaannya yang lebih panjang, wajar bila batik tulis harganya relatif lebih mahal dari pada batik cap. Traveler yang menghargai rumitnya proses dan kecantikan hasil, rela membayar berjuta-juta rupiah demi selembar kain batik.

Traveler bisa berkunjung langsung ke Kampung Batik Laweyan untuk berburu kain batik sebagai oleh-oleh. Hitung-hitung untuk ikut membantu berputarnya roda kehidupan di Laweyan. Kalau bukan kita yang ikut melestarikan, siapa lagi? (wsw/aff)

Sumber : detik.com

Tinggalkan Balasan