Kerugian Negara Rp 36 T, Bareskrim Limpahkan Barang Bukti Kilang Terkait Korupsi Kondensat TPPI
halopantura.com Tuban – Penyidik Bareskrim Polri kembali melimpahkan berkas terkait dugaan kasus korupsi kondensat PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) Tuban ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Penyerahan ini dilakukan usai berkas perkara penyidikan dinyatakan lengkap oleh Kejagung sejak awal Januari 2019.
Kali ini berkas yang dilimpahkan berupa barang bukti kilang milik PT Tuban LPG Indonesia (TLI) senilai Rp 600 miliar. Penyerahan tersebut dilakukan di area kilang minyak TPPI Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jumat, (31/1/2020).
Pelimpahan barang bukti itu dihadiri Ditreskrimsus Kasubdit Tipideksus Mabes Polri AKBP Sahad, bersama Ditreskrimsus Subnit 3 Kasubnit Tipideksus Mabes Polri Kompol Subiyanto. Serta turut hadir dalam acara itu Satreskrim Polres Tuban AKP Yoan Septi Hendri, Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Tuban, dan beberapa pihak terkait lainnya.
“Siang hari ini kita menyerahkan barang bukti berupa kilang, dan kita serahkan ke JPU untuk ditindaklanjuti tahap berikutnya,” ungkap Kompol Subiyanto di lokasi Kilang TPPI Tuban.
Sebelumnya, Bareskrim Polri telah melimpahkan dua tersangka kasus dugaan korupsi penjualan kondensat bagian Negara oleh TPPI. Berkas perkara dilimpahkan ke Kejagung pada beberapa hari yang lalu.
Dua tersangka tersebut merupakan mantan Kepala BP Migas Raden Priyono dan mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono. Keduanya telah dilakukan penahanan oleh Kejagung.
“Dua tersangka telah dilakukan penahanan,” jelasnya dihadapan para awak media.
Sedangkan satu tersangka lain, yaitu mantan Direktur Utama TPPI Honggo Wendratno masih belum diketahui keberadaannya hingga kini masih menjadi DPO. Serta akan diproses di peradilan tanpa kehadiran yang bersangkutan atau in absentia.
“Satu tersangka nantinya akan diproses dengan peradilan in absentia,” ungkapnya.
Menurutnya, berdasarkan hasil audit BPK total lost dugaan korupsi tersebut menyebabkan kerugian uang negara sekitar Rp36 triliun. Yakni terjadi pengambilan kondensat diperiode 2009 sampai 2011.
“Korupsi kondensat bagian negara ini menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 36 triliun,” jelasnya.
Dugaan kasus korupsi tersebut terendus sejak Mei 2015, hingga akhirnya penyidik menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus penjualan kondensat yang melibatkan PT TPPI dan BP Migas saat ini bernama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
“Hasil penyelidikan ditemukan penyimpangan dalam penjualan kondensat yang melibatkan PT TPPI dan BP Migas,” tegas Kompol Subiyanto.
Ia menjelaskan kasus itu bermula saat TPPI ditunjuk langsung oleh BP Migas untuk melakukan pengambilan minyak mentah (lifting) atau yang dikenal kondensat bagian negara. Padahal, TPPI tidak ada kemampuan untuk melakukan produksi itu dan dilakukan tidak sesuai prosedur.
“Meskipun tidak sesuai prosedur, tersangka (Raden Priyono, red) tetap memerintahkan agar TPPI melakukan lifting kondensat bagian negara,” terangnya.
Jumlah lifting kondensat itu dilakukan oleh TPPI sejak 23 Mei 2009 hingga 2 Desember 2011. Pelaksanaan lifting tersebut dilakukan tanpa ada jaminan pembayaran dan tanpa ada Seller Appointmen Agreement (SAA).
“Jaminan pembayaran baru dapat disediakan TPPI hampir satu tahun,” ungkapnya.
Setelah ada rapat pembahasan yang dilakukan oleh BP Migas, Kementerian Keuangan, dan TPPI. Hasilnya, jaminan pembayaran yang disediakan TPPI tidak mencukupi hingga akhirnya mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 36 triliun.
“Proses tersebut tidak sesuai ketentuan berlaku, maka oleh BPK itu disebut total lost mencapai sekitar Rp 36 triliun,” ungkapnya.
Sementara itu, General Manager TPPI Sugeng Firmanto, mendukung segala proses hukum yang dijalankan oleh para penegak hukum dalam mengungkapkan dugaan kasus tersebut.
“Apa-apa yang diperlukan akan kita sampaikan, dan kita mendukung proses hukum yang dijalankan oleh para penegak hukum, dan kita menyambut baik,” pungkasnya. (rohman)
Bnyak amat ya yg korupsi coba hukum mya di rubah jadi hukuman seumur hidup dan hukuman mati