Kisah Kediri Command Center, Mulai Selamatkan Kapal Hingga Corona Update Terkini

halopantura.com Kota Kediri – Pada tahun 1980-an, mengirim informasi tidak sesederhana saat ini.

Mesin-mesin pengirim pesan di ruang Seksi Sandi dan Keamanan Informasi, Dinas Kominfo Kota Kediri menjadi saksi, tentang bagaimana kemajuan teknologi informasi telah melipat jarak dan waktu. Ini perkembangan teknologi informasi di lingkungan Pemerintah dari dekade ke dekade.

Ketika pandemik Covid-19, semua pertemuan dan koordinasi pemerintah dilakukan virtual, Kediri Command Center yang tadinya untuk aktivitas informasi semua urusan, kini juga menjadi ruang call center Corona yang berjaga 24 jam.

Ruang ini berfungsi untuk mengadakan video conference, update data terbaru tentang statistik pasien Corona, dan tempat kerja operator call center Corona Kota Kediri yang terdiri dari petugas Dinkes termasuk dokter juga Kominfo.

“Begitu Pak Wali memerintahkan untuk mengeset ruang untuk video conference, kami langsung bergerak,” kata Nurkholis, Kasi Sandi dan Keamanan Informasi, Dinas Kominfo Kota Kediri, Jumat, (17/4/2020).

Ruangan itu pun siap mulai dari kamera, perangkat lunak, dan segala fasilitas yang mendukung. Dalam satu hari bisa 4 video conference dalam waktu bersamaan sehingga harus membagi SDM.

Di balik peralatan mutakhir ini, ada teknisi yang sudah bekerja di balai kota sejak tahun 1986. Dia adalah Hariyanto (55), staf Seksi Sandi dan Keamanan Informasi, yang mengoperasikan SSB dan Telegram hingga kini sistem digital.

“Sebetulnya apa pun alatnya, kalau alat telekomunikasi prinsip kerjanya sama yaitu frekuensi,” kata Hariyanto, yang hanya tamatan STM jurusan Listrik.

Meski tampak sebagai “orang jadul” tapi ia tidak gagap teknologi. “Jika mau belajar, apapun bisa,” katanya.

Hariyanto berpengalaman mengoperasikan mesin-mesin pengirim pesan sistem analog. Mesin-mesin itu kini masih berfungsi meski tak difungsikan lagi dan tersimpan di gudang Kominfo.

Mesin pertama yaitu mesin telegram yang masih ada pita kertasnya. Jadi prinsip kerjanya, jika ingin mengirimkan undangan/surat resmi, maka pengirim mengetik di mesin sebagaimana mengetik di mesin ketik manual.

Oleh mesin, ketikan tersebut diubah menjadi sandi titik yang terketik di pita kertas. Pesan titik inilah yang akan dikirim ke alamat penerima. Di alamat penerima ada mesin yang sama yang akan mengetik sendiri pesan yang dikirim sehingga hasil akhirnya berupa pesan yang terketik di lembaran kertas, bukan kode lagi.

Pada saat Pemilu, mesin ini bekerja keras sebab arus informasi khususnya tentang perolehan suara terus diperbarui setiap saat.

Hariyanto mengenang, pada masa pemilu tahun 1989, ia terus duduk di samping Wali Kota Drs. Wiyoto (1989-1999) untuk menulis dan mengirimkan pesan hasil Pemilu ke Provinsi. Seiring dengan telegram, ada SSB (Single Side Band).

“Dulu ada “jam sket” yang harus stand by,” kata Hariyanto sambil menunjukkan mesin SSB lengkap dengan mic-nya. Prinsip kerja alat ini seperti HT (handy talky) hanya jangkauannya nasional.

Bila ada undangan/perintah dari Provinsi Jawa Timur, maka petugas sket di Pemkab/Pemkot seluruh Jatim stand by untuk mendengarkan pesan berupa suara dari Surabaya.

Kemudian, petugas yang bertugas akan menulis cepat, bisa dengan tangan atau langsung dengan mesin ketik. Hasilnya berupa surat undangan/informasi yang akan diserahkan ke Wali Kota.

Masing-masing Pemkot/Pemkab punya “nama udara”. Untuk Pemkot Kediri namanya Kana ketika nama udara berupa bunga dan buah. Kemudian ketika nama udara burung dan satwa, Kota Kediri punya nama Gelatik.

“Petugas sket ini diistimewakan. Sebab kalau lagi bertugas tidak boleh diganggu. Apel pun bisa ditinggalkan sebab kalau salah dengar bisa kacau,” kenang Hariyanto.

Pernah ada kisah, petugas sket salah ketik. Jadi harusnya undangan rapat Wali Kota pukul 09.00 WIB, salah ketik jadi 19.00 WIB. Akhirnya Wali Kota Kediri sampai Surabaya, rapatnya sudah selesai.

Hariyanto mengenang, ia pernah ikut membantu, meski tak langsung, menyelamatkan kapal yang nyaris tenggelam di NTB gara-gara ia menangkap kode morse tanda bahaya.

“Kalau lagi tidak jam sket, saya kan bisa ubah frekuensi untuk “mojok” dengan teman-teman lain sesama operator. Nah, pas itu saya menangkap kode morse SOS dari kapal itu,” ungkap Hariyanto.

Ia pernah ikut Pramuka dan piawai dalam kode morse. Pesan yang tak sengaja ia dengar itu ia teruskan ke Koarmatim (Komanda Armada Timur) TNI AL Surabaya yang langsung ditindaklanjuti. Akhirnya kapal itu bisa diselamatkan.

Era telegram ini kemudian digantikan dengan mesin fax dengan prinsip kerja serupa. Nurkholis mengalami, bahwa mesin fax dulu masih mencetak dengan kertas panjang sehingga penerima harus memotong sendiri. Kemudian beralih ke mesin fax dengan kertas yang otomatis bisa memotong. Kini mesin fax itu masih ada dan masih berkedip-kedip tanda menyala.

“Baru tahun 2011-an ketika UU ITE disahkan dan e-mail bisa menjadi surat resmi, jarang yang mengirim fax ini,” kata Nurkholis. Meski sebetulnya, mesin fax relatif aman dari hacker. (yud/roh)

Tinggalkan Balasan