Mengintip Aktivitas Perajin Cobek Tanah Liat di Jombang
halopantura.com Jombang – Sebuah rumah di Dusun Kebondalem, RT 04 RW 04, Desa Kademangan, Kecamatan Mojoagung, Jombang, Jawa Timur, nampak seorang pria tengah berkutat dengan tanah liat.
Kedua tangan pria yang diketahui bernama M Rifai itu terlihat begitu terampil mengolah sekepal tanah yang diletakkan di atas perbot (alat putaran alas kayu).
Sambil menjaga alat itu agar tetap bergerak, Rifai mulai mengolah tanah. Sesekali adonan itu diairi agar tidak lengket di tangan. Tidak berlangsung lama sebuah layah atau cobek berukuran besar berhasil terbentuk dengan bagus.
Rifai merupakan salah satu perajin cowek di kampung Kebondalem tersebut. Di kampung itu memang menjadi sentra kerajinan cobek dari tanah liat. Kerajinan di sana sudah turun temurun.
Begitu pun Rifai sudah 45 tahun menjadi perajin gerabah cobek yang meneruskan usaha orangtuanya. Ia memilih bertahan menggunakan cara tradisional, meski saat ini, banyak perajin lain yang sudah beralih cara modern untuk memudahkan aktifitas.
“Sejak dulu saya menggunakan cara tradisional. Mbah saya dulu juga menggunakan cara tradisional. Untuk itu sampai sekarang saya pertahankan,’’ ujar Rifai ditemui di rumahnya, Senin (7/3/2022).
Bapak tiga orang anak tersebut menuturkan, alasan dirinya tak mau beralih menggunakan alat pres yang lebih modern karena ingin menjaga kualitas. Dari ulasan para pelanggannya, cara tradisional dinilai lebih awet dibandingkan menggunakan alat pres.
Kalau dilogika memang iya. Misalnya, kalau menggunakan cara tradisional kita membentuk layah hati – hati dengan cara menimpal satu tanah dengan tanah lainnya. Sedangkan jika menggunakan alat tinggal di press (tekan) saja,’’ tuturnya.
Selain itu, Rifai menyebut, kualitas tanah juga sangat memengaruhi kekuatan cobek buatannya. Rifai membeli dari seorang pengepul asal Desa Gedangan, Kecamatan Mojowarno Jombang seharga Rp200 ribu per 1 tossa. Dari modal itu, ia bisa menghasilkan Rp200 cobek.
Proses pembuatan cobek sangat tergantung dengan terik matahari. Proses pembuatan di atas perbot memang singkat, perlu waktu 15 menitan, namun untuk proses penjemuran dan pembakaran membutuhkan waktu kurang lebih 10 hari agar benar-benar kering.
”Jika tak ada panas matahari prosesnya semakin lama,’’ kata pria kelahiran 1953 silam tersebut.
Seharian mulai pagi hingga petang, Rifai bisa menyelesaikan hingga 30 buah cobek, baik ukuran besar maupun kecil. Rifai mengakui, jumlah pembuatan cobek tersebut menurun seiring bertambahnya usianya. ”Dulu bisa 40-50 buah sehari,’’ ujarnya.
Ia menambahkan, hasil kerajinan cobek yang ia tekuni selama puluhan tahun itu rutin ia jual ke wilayah Mojokerto dengan harga bervariatif, tergantung ukuranya.
”Saya jualnya di Pasar Mojokerto. Per layah Rp9 ribu-Rp14 ribu, ya tergantung ukuran,’’ imbuhnya.
Erwan Susanto Kepala Dusun Kebondalem mengatakan jika dusunnya sejak dulu menjadi sentra kerajinan pembuatan layah dan cobek. Saat ini ada sekitar 37 warga yang mengelola UMKM tersebut. Namun seiring berkembangnya zaman, banyak perajin yang beralih menggunakan cara modern dengan alat pres.
Di sini turun temurun. Yang bertahan menggunakan cara tradisional ada lima orang,’’ ujarnya. (fin/roh)