Pasca Pemilu, Sejumlah Tokoh Serukan Jaga Kerukunan Berbangsa

halopantura.com Jakarta – Puluhan Ketua  Umum Organisasi Kepemudaan Indonesia (OKP) dan aktivis Cipayung Plus berkumpul di Tugu Proklmasi, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (18/5/2019).

Mereka mendeklarasikan “Gerakan Indonesia Damai” Pasca Pemilu dan Pilpres 2019. Acara yang dihadiri sekitar 5000 perserta yang terdiri dari para tokoh bangsa, cendekiawan muslim, BEM, Aktivis Cipayung Plus, Budayawan dan Ormas Islam ini mengambil tema “Pemilu Damai: Merajut Persatuan, Memperkokoh Demokrasi Konstitusional”.

Hadir dalam acara tersebut, Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Ketua Umum Perhimpunan Gerakan Kebangsaan (PGK) Bursah Zarnubi, Rais Syuriah PBNU KH Masdar F Masudi, Politikus PDI Perjuangan Maruarar Sirait, Direktur Lima Indonesia Ray Rangkuti, Pengamat Politik Adi Prayitno, serta Ketua Umum dan Mantan Ketua Umum Organisasi Mahasiswa Cipayung plus. Acara juga disemarakkan dengan kehadiran musisi Sam Bimbo.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie yang didaulat menyampaikan Tausiyah Kebangsaan pada acara tersebut mengajak semua pihak menjaga suasana tenang dan damai pasca Pemilu dan Pilpres 2019 demi tetap terpeliharanya kerukunan berbangsa.

“Mari kita menggalang ketenangan, menjaga kerukunan berbangsa. Caranya, waktu tinggal minggu ini, nanti kalau sudah selesai semuanya diputuskan oleh KPU dan Mahkamah Konstitusi kita terima, kita hormati,” kata Jimly di Tugu Proklamasi, Sabtu (18/5).

Jimly juga mengajak semua pihak menghormati jika pada akhirnya tidak ada peserta Pilpres yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi.

“Nanti MK Pilpres tidak ada perkara yang masuk ke MK juga harus kita hormati. itu adalah hak konstitusional para pihak yang kalah, dalam Bahasa Belandanya rechtsverwerking artinya melepas hak,” katanya.

Mantan ketua DKPP ini juga mengimbau kepada para tokoh untuk menyampaikan statemen yang saling menghormati dan menyejukkan. Pihak yang kalah diminta menahan diri untuk tidak menggunakan pengerahan massa, karena sebanyak apapun massa yang dibawa turun ke jalan tidak akan mampu menandingi jumlah pemilih yang telah menyampaikan aspiriasinya di bilik suara pada 17 April yang lalu.

“Kita ngerem hawa nafsu untuk demo, karena itu sudah tidak ada gunanya lagi. Karena rakyat sudah menyatakan sikap di TPS,” katanya.

Selain itu, Jimly juga meminta kepada pihak yang menang untuk tidak merendahkan yang kalah.

“Mari kita saling menghormati, statement para tokoh pun jangan ngenyek, jangan merendahkan yang kalah. Karena jumlahnya juga signifikan hampir 70 juta. Penduduk Malaysia, Singapura, dan Brunei dijadikan satu masih lebih banyak pendukung pihak yang kalah dalam Pilpres 2019,” kata Jimly.

Jimly mengingatkan semua pihak untuk menahan diri dan menunggu keputusan resmi oleh lembaga yang berwenang.

“Kritik saya kepada istana kok sekarang sudah banyak kiriman bunga ucapan di sekeliling istana. Sebaiknya itu dibuang, jangan dinikmati. Bahwa orang itu kirim bunga iya sajalah kan tidak boleh dilarang, tapi jangan dinikmati. Karena keputusan KPU-nya belum, proses di MK-nya pun belum selesai,” ujar Jimly.

Dalam upaya untuk menjaga suasana kebatinan yang baik di tengah masyarakat, Jimly menyarankan kepada pihak kepolisian agar mengurangi proses penegakan hukum yang berkaitan dengan konflik politik terkait Pilpres dan lebih banyak menggunakan pendekatan persuasif (soft approach).

“Pak polisi kurangilah itu penegakan hukum, nanti ada yang lapor langsung diproses. Begini, meskipun belum dinyatakan tersangka, dipanggil saja sudah jadi masalah, sudah stress orang itu dipanggil polisi. Jadi biarlah kita ini suasana Ramadhan dan Idul Fitri nanti keadaannya ditenangkan,” kata Jimly.

Jimly mengingatkan, polarisasi di masyarakat terkait Pilpres tidak boleh dianggap sepele. Dia mencontohkan perolehan suara Capres yang timpang di sejumlah Provinsi harus diwaspadai karena mengarah kepada pembelahan pemeluk agama.

“Di Aceh dan Sumatera Barat, 01 suaranya tidak sampai 20 persen. Tapi dibalas di Papua, NTT, dan Bali, 02 juga suaranya tidak sampai 20 persen. Jadi ini ada fenomena religious divide,”.

“Jadi beda pilpres 2014 dan 2019 sekarang ini pembelahannya makin emosional, makin berbasis SARA. Karena itu deklarasi untuk kerukunan ini serius sekali, penting sekali,” tegas Jimly.

Selanjutnya Jimly berharap hasil pemilu membawa pencerahan bagi bangsa Indonesia. Dia optimis bahwa demokrasi di Indonesia akan terus berkembang maju.

“Ini hanya gejala elektoral lima tahunan, nanti insyaallah setelah peradaban demokrasi kita makin kuat, kualitas SDM kita makin tinggi, bangsa kita akan menjadi bangsa terbesar,” katanya.

Sementara itu, Analis Politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengajak semua pihak yang berkompetisi di Pemilu dan Pilpres untuk kembali bersatu menatap Indonesia masa depan.

“Ada kalanya memang berkompetisi tapi setelah Pemilu usai kita harus berangkulan, sekeras apapun persaingan itu. Semua itu selesai setelah pertarungan dinyatakan selesai oleh KPU dan Bawaslu,” katanya.

Adi berharap, bulan suci Ramadan ini dapat menjadi momentum mendinginkan hati. Sehingga dapat menjaga keutuhan masyarakat dan bangsa.

“Siapapun yang terpilih jadi Presiden Republik Indonesia dia adalah kader terbaik bangsa. Siapapun yang tidak terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia dia juga adalah kader terbaik bangsa. Mari kita jaga persatuan,” tegasnya.

Sementara itu Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti mengingatkan generasi muda yang hadir di acara tersebut untuk tidak terjebak dengan konflik politik yang dialami oleh orang tua.

Pemuda dan mahasiswa diimbau untuk mengingatkan para generasi tua, agar jangan terlalu ribut menyikapi hasil Pemilu ini. Karena jika mereka sibuk ingin mengganti demokrasi konstitusional menjadi demokrasi jalanan, maka masa depan Indonesia akan gelap.

“Oleh karena itu kita harus katakan stop. Kalau anda tidak puas gunakan cara konstitusional,” tegas Ray.

Menurut Ray, pemuda dan mahasiswa sebagai pemilik masa depan lebih baik memikirkan kontestasi pada 2024 mendatang di mana mereka potensial untuk menjadi aktor politik.

“Jadi kalau kita tidak bisa meluruskan keruwetan yang dibuat orang tua kita sekarang, kita tak punya potensi pada 2024,” jelasnya.

Dalam konteks merajut semangat persatuan bangsa, anggota DPR RI Maruarar Sirait berharap ujung dari kompetisi Pilpres ini diakhiri dengan rekonsiliasi, terutama antara Jokowi dan Prabowo.

“Saya berharap, ujungnya Jokowi dan Prabowo bersatu kembali untuk membangun Indonesia yang kita cintai ini,” kata Maruarar.

Dia mengaku dapat memahami menerima kekalahan itu tidak mudah, namun semangat sportivitas dalam demokrasi harus dijunjung tinggi.

“Saya juga belajar menerima kekalahan. Tiga kali terpilih menjadi anggota DPR namun kali ini kalah. Itulah demokrasi harus siap menang siap kalah,” Kata Maruarar. (*/mus/roh)

Tinggalkan Balasan