Pergantian Bupati Sampang, Ini Penjelasan Pakar Hukum Tata Negara Trunojoyo
Halopantura.com Sampang – Masyarakat Sampang sebagai salah satu Kabupaten di pulau Madura sedang berduka karena ditinggal oleh H Fannan Hasib, Bupati Sampang untuk selamanya. Masyarakat merasa kehilangan dengan sosok pemimpin baik itu yang meninggal dunia di karenakan sakit.
Tanpa mengurangi rasa duka yang sedang menyelimuti warga sampang dan khususnya dari pihak keluarga. Hari – hari ini nampak beberapa elemen masyarakat dan pihak lain yang sedang pembahasan pasca meninggalnya Bupati Sampang dan siap pengganti Bupati yang dikenal sosok baik itu.
Artinya dibalik kabar duka ini, ternyata tidak dapat menunda apalagi menghentikan perdebatan tentang pengganti Fannan sebagai Bupati Sampang di sisa masa jabatannya. Karena roda organiasai Pemerintahan harus tetap berjalan dan sesuai dengan aturan.
Namun sampai saat ini masih ada perdebatan siapa pengganti Bupati itu. Sebab orang yang sedang menduduki jabatan sebagai Wabup Sampang saat ini adalah mantan Bupati selama dua periode.
Dalam rangka untuk menjelaskan kepada masyarakat terkait dengan hal tersebut, maka reporter halopantura.com untuk wilayah Madura meminta pendapat salah satu Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura, Fauzin, S.H., LLM. Berikut adalah hasil wawancara terkait aturan pengganti Bupati tersebut.
Fauzin saat ditemui menyebutkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.Yaitu dalam Pasal 87 bahwa Bupati itu bisa berhenti dan bisa juga diberhentikan. Diantara yang menyebabkan Bupati itu berhenti adalah karena meninggal dunia.
“Ketika hal yang demikian terjadi, maka harus dilakukan pengisian jabatan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemilihan Kepala Daerah.Sekarang ketentuan yang mengatur tentang pemilihan Kepala daerah yaitu ada di Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016,” terang Fauzin.
Lanjut, Pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 ang menarik untuk ditelaah terkait dengan pengangkatan wakil bupati sebagai bupati yaitu antara Pasal 7 dengan Pasal 173.
Pertama, Pasal 7 ini mengatur hak warganegara untuk mencalonkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan mengatur persyaratannya sebagai calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. “Secara garis besar isi dari Pasal 7 mengatur bahwa setiap warganegara Indonesia boleh mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sepanjang memenuhi persyaratannya,” beber Fauzin.
Diantara sekian persyaratan yang disebutkan dalam Pasal 7 itu, Fauzin menjelaskan bahwa salah satunya belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. Baik itu untuk calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati, alon Walikota, dan calon Wakil Walikota.
“Kemudian rumusan berikutnya, mengatur bahwa belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama,” terang Fauzin ini.
Pada poin kedua, Fauzin menyebutkan Pasal 173 secara garis besar mengatur ketika Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan, maka Wakil Kepala Daerah menggantikan Kepala Daerah dan mengatur mekanisme penggantiannya. Dalam Pasal 173 ayat (1) mengatur bahwa dalam hal Gubernur, Bupati, dan Walikota berhenti, karena meninggal dunia; permintaan sendiri dan beberapa lainnya.
“Setelah itu anggota dewan menyampaikan usulan pengangkatan dan pengesahan Wakil Bupati/Wakil Walikota untuk menjadi Bupati atau Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 kepada Menteri dan melalui Gubernur untuk diangkat dan disahkan sebagai Bupati atau Walikota,” terang penasehat halopantura.com ini.
Fauzin menambahkan, jika anggota dean tidak menyampaikan usulan sesuai ketentuan, maka dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja, terhitung sejak Bupati atau Walikota berhenti, makan Gubernur menyampaikan usulan kepada Menteri dan Menteri berdasarkan usulan Gubernur mengangkat dan mengesahkan Wakil Bupati atau Wakil Walikota sebagai Bupati atau Walikota.
Jika Gubernur tidak menyampaikan usulan, maka dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya usulan dari anggota dewan, maka Menteri berdasarkan usulan dewan mengangkat dan mengesahkan Wakil Bupat sebagai Bupati.
“Aturan itu jelas setiap poin – poinnya,” tuturnya.
Sementara itu, dalam hal itu Gubernur dan anggota dewan tidak menyampaikan usulan, maka Menteri mengesahkan pengangkatan Wakil Bupati atau Wakil Walikota untuk menjadi Bupati atau Walikota. Hal itu berdasarkan surat kematian; surat pernyataan pengunduran diri dari Bupati/Walikota; atau keputusan pemberhentian.
“Aturan itu juga berlaku di Kabupaten Sampang ini,” terangnya.
Namun begitu, dampaknya tentu akan terdapat perbedaan pandangan ketika terdapat peristiwa Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan bersamaan dengan kondisi dimana yang sedang menjabat sebagai wakil Bupati pernah menjadi Kepala Daerah selama dua periode. Jadi ketentuan Pasal 173 dapat saja dimaknai sama sekali tidak terkait dengan ketentuan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 7.
“Rumusan dalam Pasal 173 sudah bukan lagi mengatur perihal pencalonan Kepala Daerah, akan tetapi mengatur tentang penggantian dan pengangkatan Wakil Kepala Daerah menjadi Kepala Daerah ketika Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan,” terangnya.
Sementara dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n, secara tersurat sebagai salah satu ketentuan persyaratan sebagai calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah, mengatur bahwa warganegara yang sudah pernah menjabat dua periode sebagai Kepala Daerah, maka tidak boleh menjadi calon Kepala Daerah.
Jika kita telaah isi dari Pasal 7 dan Pasal 173 serta keseluruhan pasal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, maka dapat ditemukan pengaturan tentang persyaratan sebagai calon Kepala Daerah dan sebagai Calon Wakil Kepala Daerah dan dapat ditemukan pengaturan tentang mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Untuk pengaturan tentang persyaratan dirumuskan dalam Pasal 7 ayat (2) dan untuk ketentuan tentang mekanismenya, tersebar dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. “Namun secara keseluruhan pasal-pasal terkait dengan pengaturan mekanisme tersebut, bahwa secara garis besar dapat disimpulkan terdapat tiga mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah,” terangnya.
Mekanisme pertama terkait pemilihan secara langsung oleh rakyat (tersebar dalam beberapa Pasal), kedua yaitu pemilihan oleh DPRD (Pasal 174) dan mekanisme yang ketiga adalah mekanisme pengangkatan (Pasal 173).
“Dengan demikian, seharusnya semua mekanisme tetap mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat 2,” pungkasnya. (Shohibul Khoir/roh)