Tuhan Ada di Rumah Sebelah

Oleh: Moh. Ilyas (Pemerhati Sosial dan Politik)*

DUNIA manusia adalah dunia sosial. Manusia, jika baik sisi sosialnya, baik pula sisi individualnya.

Itulah cerminan kehidupan dunia sosial. Manusia tidak bisa dilepaskan dari dunia sosialnya. Aristoteles menyebutnya dengan istilah “Zoon Politicon”. Sementara Adam Smith menyebut istilah mahkluk sosial ini dengan “Homo Homini socius”, yang berarti manusia menjadi sahabat bagi manusia lainnya.

Jadi, makhluk sosial merupakan sebuah identitas yang melekat dengan kita. Sebab kita tak bisa hidup sendiri, menjadi individualis, menjadi pribadi yang tak punya teman hidup, teman bergaul, teman berdiskusi, teman berbagi kisah. Kita tak bisa menjadi pribadi yang tak punya tetangga, menjadi pribadi yang hanya memikirkan dirinya sendiri, bukan orang lain.

Padahal, Tuhan hidup di rumah sebelah, rumah tetangga kita. Tuhan hidup di masyarakat kita, bersemayam bersama tangisan, rintihan, dan desah orang-orang di sekitar kita yang butuh perhatian kita. Di situlah Tuhan berada.

Jika engkau ingin mencari dirimu yang sebenarnya, engkau tidak akan menemukan dalam kesendirianmu. Identitas kesejatian kita akan terpancar dalam identitas kesejatian sosial kita, dan di situlah identitas Tuhan sebenarnya berada.

Engkau akan menemukan dirimu dan Tuhanmu dalam pergumulan sosial dan dalam struktur sosial. Di sanalah kau akan temukan identitas kemanusiaan yang kaya warna. Ada suka, ada duka; ada tangis, ada tawa; ada sedih, ada pula bahagia.

Oleh karenanya, menjadi pribadi yang sendiri, bergumul dengan persoalannya sendiri, ia belum mencapai kesempurnaan dirinya sebagai manusia. Identitas kemanusiaannya secara alamiah akan ia dapati ketika ia telah bersentuhan dengan orang-orang di sekitarnya. Maka di situlah akan diketahui bahwa yang satu butuh yang lain, yang satu merindukan yang lain, dan yang satu ingin menyapa yang lain. Di situ pulalah ditemukan perbandingan-perbandingan kemanusiaan: ada yang ingin tertawa, ada pula hendak menangis; sebagian ingin pulang dan sebagian lainnya ingin kembali.

Inilah perbedaan-perbedaan yang menjadi perbandingan kemanusiaan, maka kesejatian manusia adalah ketika dia mampu menutupi dan memberikan ruang terbaik bagi yang lainnya sebagaimana esensi sabda Nabi, _Khairu an-Naasi Anfa’uhum Li an-Naasi,_ sebaik-sebaik manusia adalah yang paling bermanfaat terhadap manusia lainnya.

Kenapa dunia sosial begitu penting? Karena tidak ada kesempurnaan tanpa kehidupan sosial. Manusia tak bisa diukur dalam kesendirian. Hanya sensitivitas personal yang mengemuka, bukan sentivitas sosial. Pikiran keakuan yang menunjukkan egoisme personal harus jauh-jauh ditanggalkan. Pikiran keakuan hanya akan menempatkan kita sebagai individu yang abai dan enggan menoleh pada orang lain. Pikiran keakuan hanya menciptakan sekat yang sangat jauh antara kita dengan yang lain, karena kita terkesan seperti hanya diciptakan untuk kita sendiri. Kita seolah hanya diberikan ruang berpikir untuk kita sendiri, bukan orang lain.

Padahal sejatinya identitas kemanusiaan tidaklah seperti itu. Identitas kemanusiaan adalah identitas yang tidak tunggal. Ia identitas majemuk, karena di situ penuh kebersamaan, penuh persamaan tanpa terlalu terbuai dengan perbedaan. Identitas kemanusiaan lebih dekat dengan identitas kekitaan, bukan keakuan.

Keakuan ditandai dengan adanya jarak. Manusia dibatasi oleh jarak dan perbedaan. Sehingga ia cenderung berpikir tentang dirinya sendiri. Manusia akan meninggalkan orang lain demi kepentingannya sendiri, individualistis. Inilah sikap individualisme yang ditentang jauh-jauh dalam kehidupan kita; sikap yang hanya menempatkan diri pada posisi tertinggi dan meletakkan yang lain dalam porsi terendah; sikap yang hanya menempatkan dirinya dalam tataran kesejahteraan, tanpa peduli kepada yang lain. Model ini sangat dengan konsep “mahluk sosial”nya Thomas Hobbes, yakni Homo Homini Lupus, yakni manusia yang justru menjadikan orang lain sebagai enemy, sebagai mangsa. Manusia menjadi serigala bagi manusia lainnnya.

Egoisme dengan meniadakan relasi sosial ini jelas bertentangan dengan Islam berikut ajaran-ajarannya. Maka, bangunan empati yang kuat terhadap orang-orang di sekitar kita, sejatinya adalah bentuk kerinduan kita kepada Tuhan yang bersemayam dalam rumah-rumah di sekitar kita. Begitu banyak anjuran kita untuk merangkul kehidupan sosial ini. Di mana satu yang lain saling menolong, bukan hanya alasan kesamaan territorial, nasib, keyakinan, dan kebudayaan, tetapi juga karena rasa kemanusiaan. (QS. Attaubah: 71).

Sebuah hadits Nabi dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”. (Bukhari no. 6018, Muslim no. 47)

*Ditulis usai menghadiri Bukber bersama kawan-kawan alumni HMI-LAPMI di RJA Kalibata

Tinggalkan Balasan